Siapakah Presiden Indonesia yang Terlupakan?

1. Syafruddin Prawiranegara

Berbeda dengan presiden yang lain, tokoh satu ini tidak banyak diketahui masyarakat Indonesia. Padahal, jasanya mendirikan Indonesia sebagai negara berdaulat sungguh besar.

Syafruddin adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang pernah ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Saat itu, Belanda melakukan agresi militer kedua pada 1948.

Tentara Belanda membombardir Yogyakarta dan Bukit tinggi, mereka menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, pada tahun 1948.

Hatta yang telah menduga sebelumnya, jika Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat kepada pria kelahiran Serang, Banten, pada 28 Februari 1911, itu untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.

Tongkat estafet kepemimpinan kemudian diserahkan Bung Karno kepada Syafruddin lewat mandat yang tidak pernah diterimanya. Tapi demi mendengar berita tersebut, Syafruddin yang sedang berada di Bukit Tinggi berinisiatif mengambil alih kepemimpinan negara.

Pada 19 Desember 1948, Syafruddin bersama Gubernur Sumatera pada waktu itu, TM Hasan, memutuskan untuk membentuk pemerintahan darurat. Inisiatif ini diambil demi menyelamatkan Indonesia, yang pada saat itu dalam kondisi bahaya.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Delapan bulan berselang yakni pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta menteri kedua kabinet.

Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.

Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

2. Mr Assaat 

Selain Syafruddin Prawiranegara, tokoh lain yang pernah menduduki kursi sebagai Presiden Indonesia adalah Mr Assaat. Ia memimpin RI selama 9 bulan (27 Desember 1949-15 Agustus 1950).

Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi Acting (Pelaksana Tugas) Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950.

Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Pejabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku Ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.

Saat menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, pria kelahiran Sumatera Barat, 18 September 1904, itu menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri pada September 1950 sampai Maret 1951.

Setelah Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen. Pada tahun 1955, ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri.

Karena waktu itu terjadi ketidak puasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal, ditolak oleh Parlemen. (*)

*) Source : okezonecom, semuatentangsejarah

liramedia.co.id tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Back to Top